Senin, 10 Oktober 2016

Everyone Can Be A Leader

Yeah you can!

Apa sih yang terbesit di pikiran ketika dengan kata pemimpin?

Mungkin banyak yang mikir organisasi, sibuk, koordinir ini itu, bangun jejaring sana-sini dan yah, orasi orasi gitu deh. Tipikal anak vokalXextrovert gitu. Meski ada tipe-tipe pemimpin introvert yang kharismatik.  Banyak yang berpikir pemimpin itu identik dengan jabatan. Padahal sebenarnya nggak begitu lho. Ini ditegaskan oleh Pak Herry Zudianto dalam kelas perdana Sekolah Tjokro 8 Oktober lalu.

Sesederhana itu. Nggak muluk-muluk. Jabatan itu bukan tujuan. Follower jutaan juga bukan. Tapi jika ya, keduanya bisa jadi sarana mengaktualisasikan visi si pemimpin. Bukan berarti oragnisasi itu nggak penting.  Saya juga awalnya mikir gitu, organisasi serius itu cuma buat yang mau bermain di kancah politik. Saya mah apa.  Tapi setelah KKN, lihat realita di masyarakat gimana, dan setelah mikirin si mini project ini, ilmu mengenai pengorganisasian dan mengorganisasi orang pokoknya butuh banget titik. KKN mengajarkan saya banyak hal. Berkontribusi di masyarakat itu butuh ilmu, serius. Nah tiba-tiba saya lihat postingnya Sarah mengenai Sekolah Tjokro. Setelah tanya-tanya lebih lanjut Sarah meyakinkan saya bahwa ini bukan kaderisasi politik *lah*, intinya isinya mendidik siswa agar dapat memperoleh ilmu yang membentuknya menjadi berjiwa pemimpin. Saya kepo lagi programnya, materinya berkelanjutan yang semuanya akan dipraktikan dalam sebuah social project. Alhamdulillah Sekolah Tjokro kemarin mengantarkan saya duduk dan mendengarkan Pak Aji Dedi (Penulis biografi HOS Tjokroaminoto Jang Oetama) dan Pak Hery Zudianto (Walikota Jogja periode 2001-2006, 2006-2011) lebih mengenal mengenai kepemimpinan HOS Tjokroaminoto.

Kita punya ide bagus untuk suatu social movement tapi kalau nggak ngerti eksekusi  bagaimana untuk menggerakan masyarakat rasanya susah juga. Seperti yang diceritakan Pak Dedi, betapa guru bangsa Tjokroaminoto bisa menjadi guru dan pengkader sejumlah nama besar. HOS Tjokroaminoto juga merupakan penggerak, menyadarkan masyarakat yang saat itu sudah ‘pasrah’ dijajah saking tidak berdayanya. Menurut Pak Dedi situasinya dengan saat ini sebenarnya sebelas dua belas lho. Tahun 1919 orang-orang bisa ke sekolah, hidup normal, apalagi Tjokroaminoto yang anak wakil bupati wes hidup enak aja deh. Tapi lingkungannya yang enak itu dia tinggalkan karena keriasauannya terhadap masyarakat bawah yang yaitu tadi, sudah pasrah karena saking tidak berdayanya dengan sistem tanam paksa yang saat itu diterapkan Belanda.  Tjokroaminoto datang dengan ini lho, kalian itu punya masalah! Hampir sama kan dengan saat ini? kelihatannya baik-baik saja tapi sebenarnya tidak. Pak Dedi menekankan butuh kesadaran batin untuk memahami masyarakat, apa yang mereka butuhkan sebenarnya. Pemahaman akan pop culture penting juga  untuk menggerakan massa. Tjokroaminoto begitu gigih menyatukan umat saat itu agar mau melawan penjajah. Perjalanan ke kampung-kampung dan mendatangi tokoh perjuangan tiap-tiap daerah ia jalani. Konon suara lantangnya terdengar ribuan orang yang datang setiap kali beliau berorasi. Soekarno adalah salah satu murid yang dididiknya sejak kecil, mewarisi gaya retorikanya. Kebayang, saat itu Tjokroaminoto bukan bupati atau memegang jabatan struktural formal, beliau turun ke bawah melepas semua atribut kepriyayiannya, tapi beliau mampu menggerakan dan membangunkan semangat juang rakyat. Nggak heran Tjokroaminoto dijuluki Raja Tanpa Mahkota dari Jawa.

Satu hal yang saya kagumi, Tjokroaminoto berangkat dari menguatkan ekonomi para pedagang muslim lewat Sarekat Dagang Islam. Kekuatan ekonomi merupakan salah satu yang menjadi titik perhatian Tjokroaminoto. Kalau dikaitkan dengan situasi sekarang, masuk akal banget. Salah satu cara menguatkan bangsa adalah dengan memandirikan  ekonomi masyarakatnya. Sehingga masyarakat saling membangun, bukannya tergantung dengan bangsa lain. Giliran Pak Herry yang bercerita bagaimana pengalaman beliau memimpin kota Jogja selama dua periode. Pasti sudah sering dengar mengenai mafia yang mengobok-obok keputusan pemimpin/ada di balik keputusannya. Seorang pemimpin terutama dalam hal ini sebagai kepala daerah, harus banget punya tauhid yang kuat, serta background ekonomi yang kuat agar tidak mudah tergiur iming-iming harta haram, dan menciptakan pemerintahan yang bersih. Wes jadi kepala daerah itu nggak mbathi sebetulnya, malah banyak nomboknya. Pak Herry yang punya latar belakang pengusaha pun begitu. Seperti apa yang telah dilakukan Tjokroaminoto dalam memperjuangkan kemerdekaan, bagi Pak Herry, memimpin itu seperti wakaf, waktu dan tenaga untuk bangsa. 


Kita semua adalah pemimpin. Nggak harus menjabat toh, kita sebaiknya bisa saling menguatkan, mengingatkan, dan menginspirasi satu sama lain untuk mengubah bangsa ini. Kita butuh kemampuan memimpin untuk membuat perubahan. Minimal, ibarat dalam sebuah keluarga deh, bukan if lagi, you have to. Memang orangtualah yang menginspirasi dan menggerakan anak-anaknya untuk bermimpi lebih, belajar lebih, dan menjadi lebih baik kan?   


Saya nggak mbakat jadi pemimpin deh. Saya nggak outgoing dan bla bla bla bagaimana saya bisa menginspirasi orang lain?
Lah lagian terus kalau semua jadi pemimpin, siapa pengikutnya?
Baca lebih lanjut di sini dan di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar